Oleh: Muhammad Said
Beberapa hari terkahir viral di media sosial suara-suara lantang gerakan anti politisasi masjid. Gerakan sosial ini suatu hal yang lumrah lantaran dua hal. Pertama, ketidakpahaman mereka atas fungsi dan relasi masjid dalam pembinaan politik dalam etalase sejarah peradaban Islam dan realitas sosial.
Kedua, kekhawatiran mereka akan potensi dan fungsi masjid yang dianggap sakral terjangkiti virus politik kekhawatiran menjadikan masjid sebagai pusat mobilisasi kekuatan umat. Ketiga, kekhawatiran menjadikan masjid sebagai sarana ibadah dijadikan sebagai media politik untuk mendiskreditkan pihak lain yang berbeda yang bisa menodai citra Islam sebagai agama yang menyerukan perdamaian.
Opini ini menganalisis metafora coin relasi masjid dan politik dalam peta sejarah peradaban Islam dan rekonstruksi metafora coin antara maajid dan politik dalam jagad politik tanah air kontemporer.
Secara Common Sense masjid seringkali dipahami dalam konteks yang sangat terbatas, nalar sejarah yang terbatas dan kepentingan serta syahwat politik yang tinggi sehingga memunculkan statement ambigu nan kontoversial di jagad media social menjelang tahun politik Indonesia. Mereka memahami masjid sebagai bangunan tempat shalat kaum muslim yang tidak memiliki hubungan dengan politik.
Masjid kalau dianalisis dari akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh. Makna ini menyiratkan masjid sebagai tempat melakukan segala aktifitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata dalam relasi horizontal hablu minallah dan hablum minan nas atau relasi vetrtikal dengan sesame manusia.
Pandangan fungsi mesjid sebagai sekedar tempat ibadah bukan saja tidak tepat tetapi juga merefleksikan nalar sejarah yang berbeda dan syahwat untuk memisahkan politik dari agama. Seruan mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat ibadah adalah seruan yang patut diberi apresiasi.
Seruan itu sebagai bentuk ajakan (dakwah) yang mengingat kaum Muslim untuk senantiasa dekat dengan masjid sebagai sarana kaputahan dan ketaatan kepada Allah. Namun akan sangat berbahaya ketika seruan itu dialnjutkan dengan larangan menjadikan masjid sebagai tempat politik.
Tentu sepakat jika diserukan agar masjid tidak dijadikan komimisariat sebuah partai politik sebagai the center of political activities tanpa tautan dengan pembinaan akidah dan akhlaq umat. Namun, menjadikan masjid sebagai tempat pembinaan umat, membangun pemahaman dan kesadaran politik berbasis nilai kemanusaiaan universal dari ajaran agama adalah sebuah pendidikan politik yang cerdas yang melahirkan kesantunan masyarakat dalam berpolitik.
Virus sekularisasi di balik Pemisahan Masjid dan Politik
Dalam potret sejarat peradaban Islam, terutama setelah terjadi hijrah Nabi dari Mekkah ke Madina langkah awal yang diprioritaskan adalah pembangunan masjid sebagai wahana menyatukan kekuatan, kebersamaan dan semangat juang umat kala itu.
Sebagai the leading figure kala itu, Nabi mempersonifikasi diri sebagai tokoh politik yang bisa menyatukan umat atas azas ukhwah Islam dan manusia lain atas azas ukhwah insaniyah untuk membangun kekuatan (power) untuk kepentingan bersama (al maslahat al ammah).
Konstruksi pemahaman atas hak-hak masyarakat, kesadaran social politik yang dibangun kala itu secara langsung dan eksplisit menunjukkan bagaimana beliau menempatkan diri sebagai the most influence figure yang memiliki visi dan kekuatan memadukan aspek transcendental berupa fungsi masjid sebagai sarana ibadah serta aspek profanity, keduniawian berupa kesaradan manusia sebagai masyarakat madani, mahluk yang memiliki interdependency satu sama lain, yang terus membangun kohesi social, integrasi social dan terus menerus melakukan komunikasi dan interkasi social dalam membangun kemaslahatan bersama.
Transcendental dan profanitas adalah aspek yang bisa dibedakan secara jelas, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam Isam. Karena itu, masjid dan politik bagaikan dua sisi yang berbeda dari coin yang satu. Atas dasar pemahaman ini pula, maka sebenarnya substansi dari sustainable development, pembangunan berkelanjutan yang digelorakan di dunia Barat terakomodir dari spirit dwi fungsi masjid dalam Islam.
Artinya, kekuatan politik yang santun dan etis, yang diinspirasi oleh nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai Islam yang universal hari ini memiliki pengaruh laten bagi kehidupan seseorang di masa depan. Politik elok, santun dan etis yang mengusung kepentingan transcendental dan profanitas warga Negara hari ini merupakan investasi kelanjutan hidup dama di masa depan. Peran dan kekuatan politik yang dibangun di atas pilar nilai kebenaran universal hari ini merupakan kunci kedamaian di masa depan.
Kemampuan menempatkan politik sebagai anak tangga membangun dua sisi kehidupan manusia adalah sebuah qonditio sine quanon, bagai masa depan Indonesia yang lebih baik. Politik di negeri hari ini harus dibebaskan dari segala macam infiltrasi ideology asing yang bertentangan dengan azas politik dan jati diri Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat.
Anak bangsa hari ini memerlukan figure yang mampu menetralisir mereka dari firus ideology secular yang tidak selaras dengan nilai dan jati diri bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Preseden sejarah politik berbasis Agama di masa silam perlu direkonstruksi sebagai referensi agar mereka yang dirasuki syahwat politik tidak lagi berteriak untuk menjadikan masjid sebagai tempat pembinaan kesadaran politik umat.
Kemampuan Nabi Muhammad dalam memadukan fungsi masjid sebagai tempat pembinaan umat secara social, ekonomi, budaya, dan politik—bukan tempat menghujat dan mencaci maki pihak lain– secara historis melahirkan pengakuan global (global recognition) sebagai the most influence heroes on the world, pahlawan yang sangat berpengaruh di dunia. Magna politik yang dibangun Beliau kala itu terkodifikasi secara baik dalam butir-butir al mitsqah al madinah/ madinah chater atau Piagama Madinah.
Jika di masa lalu demikian centralnya peran masjid dalam menyadarkan hak dan kewajiban warga Negara (Civic education), maka menjadi aneh ketika media social menviralkan sekelompok orang menyerukan dengan lantang anti politisasi masjid. Seharusnya mereka menyeruakan bangun politik bernuatan etika kemanusiaan dan etika agama berbasis masjid sehingga bangsa dan anak bangsa hidup tentram dan jauh dari hiruk pikuk konflik kepentingan yang menyebabkan bangsa ini terpuruk dan tidak bermartabat.
Seruan pemisahan politik dari masjid (baca:Agama) hanya akan melahirkan manusia kerangkeng (the hollow man) yang kerdil dari nilai-nilai sublimatif dari kepribadian manusia, politik hedonis yang penuh muatan material greed (keserakahan secara material) yang berujung pada menghalalkan segala cara untuk ambisi kekuasaan.
Semoga dengan kepahaman dan kesadaran histroris tentang fungsi dan peran masjid secara luas dapat membingkai pendidikan politik hari ini agar tatanan perpolitikan di tanah air menjadi sebuah pendidikan politik dan system politik yang elok atas nama kemanusiaan yang diilhami oleh oleh nilai-nilai kebenaran universal.
(Penulis adalah Ketua Program Doktor Perbankan Syariah Fakuktas Ekonomi & Bisnis dan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta)
Email:muhammad@uinjkt.ac.id